Masalah Utama Timnas U-23 Saat Takluk dari Korea Selatan

Pemain Timnas Indonesia U-23 berduel dengan pemain Korea Selatan U-23 dalam laga Kualifikasi Piala Asia U-23 2026 di Stadion Gelora Delta Sidoarjo

Masalah Utama Timnas U-23 Saat Takluk dari Korea Selatan

Timnas Indonesia U-23 kembali gagal menunjukkan efektivitas permainan saat bersua Korea Selatan U-23 di Stadion Gelora Delta Sidoarjo, Selasa (9/9/2025). Dalam laga terakhir Grup J Kualifikasi Piala Asia U-23 2026 itu, Garuda Muda harus mengakui keunggulan lawan dengan skor tipis 0-1. Meski tampil cukup dominan dalam penguasaan bola, peluang yang tercipta tidak mampu dikonversi menjadi gol, sementara Korsel memanfaatkan kesempatan lebih awal untuk mencuri keunggulan yang bertahan hingga peluit panjang.

Pertandingan dimulai dengan tempo tinggi, di mana Indonesia mencoba langsung mengambil inisiatif serangan. Namun, petaka datang terlalu cepat. Baru memasuki menit ketujuh, gawang yang dikawal Cahya Supriadi kebobolan melalui sepakan Hwang Do-yun. Bola yang sempat membentur mistar memantul ke dalam gawang dan membuat suporter tuan rumah terdiam sejenak. Gol cepat ini tidak hanya mengubah jalannya pertandingan, tetapi juga memengaruhi konsentrasi para pemain yang terlihat terguncang dalam beberapa menit setelahnya. Upaya untuk bangkit memang dilakukan, tetapi tekanan mental akibat kebobolan di awal laga sulit dihindari.

Setelah tertinggal, Indonesia berusaha meningkatkan intensitas serangan. Kombinasi lini depan yang diisi Hokky Caraka, Rafael Struick, dan Rahmat Arjuna mencoba menusuk pertahanan Korsel, sementara Dion Markx sesekali melepaskan tembakan jarak jauh untuk mengejutkan lawan. Sayangnya, penyelesaian akhir menjadi kelemahan utama. Hokky sempat mendapatkan ruang tembak, namun bola masih melebar. Struick juga memiliki peluang sundulan, tetapi tidak menemui sasaran. Momentum yang seharusnya bisa menyamakan kedudukan justru terbuang sia-sia.

Masalah di lini tengah juga cukup terlihat. Walau Indonesia mencatat penguasaan bola yang menjanjikan, aliran serangan kerap buntu saat memasuki sepertiga akhir lapangan. Variasi serangan minim dan umpan-umpan ke depan terlalu mudah ditebak oleh barisan pertahanan Korea Selatan. Kondisi ini membuat striker di lini depan seringkali kesulitan mendapatkan suplai bola matang. Akibatnya, meski terlihat agresif di atas kertas, ancaman nyata ke gawang lawan tidak banyak tercipta.

Gerald Vanenburg mencoba mengubah jalannya pertandingan dengan melakukan rotasi di babak kedua. Jens Raven masuk menggantikan Hokky Caraka untuk menambah tenaga segar di lini serang. Namun masuknya Raven tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap pola permainan. Tempo tetap sama, pergerakan bola masih mudah dipatahkan, dan solidnya pertahanan Korsel membuat Garuda Muda frustasi. Bahkan meski terus menekan, tidak ada peluang berbahaya yang benar-benar menguji kiper lawan.

Dari sisi pertahanan, sorotan tertuju pada penempatan beberapa pemain di luar posisi idealnya. Mikael Tata yang biasanya bermain di bek kiri dipasang di posisi bek kanan. Situasi ini membuat keseimbangan pertahanan sedikit goyah, terutama saat menghadapi serangan sayap Korsel. Beberapa kali lawan mampu mengeksploitasi sisi itu, meski beruntung tidak berujung gol tambahan. Penyesuaian posisi semacam ini seolah menunjukkan keterbatasan pilihan atau strategi darurat, namun tetap berisiko terhadap kestabilan tim.

Atmosfer di stadion sebenarnya sangat mendukung. Ribuan suporter memberikan energi luar biasa sepanjang pertandingan, mencoba mendorong pemain untuk terus menyerang. Namun dukungan besar itu tidak cukup untuk memecah kebuntuan di lapangan. Setiap kali peluang tercipta, kegagalan menuntaskannya membuat sorakan berubah menjadi helaan napas panjang. Tekanan mental semakin besar seiring berjalannya waktu, terlebih ketika skor 0-1 bertahan hingga memasuki menit-menit akhir.

Laga ini menjadi kontras dengan memori manis tahun 2024, ketika Indonesia U-23 mampu menyingkirkan Korsel lewat drama adu penalti di perempat final Piala Asia U-23. Kala itu, semangat juang dan keberanian menyerang menjadi faktor penentu. Kini, meski semangat juang masih terlihat, kelemahan teknis dan eksekusi di lapangan membuat hasil akhirnya jauh dari harapan. Banyak pihak yang menilai bahwa Indonesia sebenarnya tidak kalah secara kualitas permainan, namun kurang efisien dalam memanfaatkan peluang.

Setelah pertandingan, beberapa pemain terlihat kecewa berat, termasuk Rafael Struick yang beberapa kali mendapat peluang namun gagal memanfaatkannya. Pelatih Gerald Vanenburg dalam konferensi pers menyebut bahwa timnya sudah berusaha maksimal, namun detail kecil seperti konsentrasi di awal laga dan efektivitas penyelesaian menjadi pembeda besar. Ia juga menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh agar tim bisa lebih siap menghadapi ajang berikutnya.

Kekalahan ini membuat Indonesia U-23 finis sebagai runner-up Grup J dengan empat poin. Sayangnya, hasil tersebut tidak cukup untuk lolos sebagai salah satu runner-up terbaik. Harapan untuk kembali mencatatkan prestasi di Piala Asia U-23 pun pupus, meninggalkan pekerjaan rumah besar bagi staf pelatih dan federasi untuk membenahi kelemahan yang tampak jelas pada laga melawan Korea Selatan ini.

Pertandingan tadi malam seolah menjadi cermin nyata bahwa di level Asia, detail kecil menentukan hasil. Indonesia U-23 sudah menunjukkan semangat, penguasaan bola, dan keberanian menekan. Namun tanpa penyelesaian yang tajam, kreativitas lini tengah yang terorganisir, serta penempatan pemain yang sesuai posisinya, semua itu hanya menjadi catatan statistik tanpa arti di papan skor. Kekalahan ini pahit, tetapi bisa menjadi pelajaran berharga untuk membangun tim yang lebih solid di masa depan.

Post a Comment

Previous Post Next Post